Kasus Dugaan Mati Batang Otak di RS Kartika Husada Bekasi Berujung Damai

BEKASI, POSKOTA.CO.ID – Rumah Sakit Kartika Husada mengucapkan duka cita mendalam atas kepergian Benedictus Alvaro Darren, seorang pasien yang telah dirawat dengan dugaan mati batang otak.

Melalui perwakilan kuasa hukumnya, Husni Farid Abdat dan Vicky Alexander Arifin, Rumah Sakit Kartika Husada menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi kepada Polri yang telah menjalankan proses investigasi ini dengan sebaik-baiknya.

“Proses ini dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, dan kami berterima kasih atas profesionalisme yang ditunjukkan oleh Polri,” ucap Husni Farid Abdat.

Rumah Sakit Kartika Husada Melalui kuasa hukum menginformasikan bahwa telah tercapai penyelesaian secara kekeluargaan antara keluarga Benedictus Alvaro Darren dan Rumah Sakit Kartika Husada Jatiasih.

Baca Juga:
DPRD Kota Bekasi Minta Usut Tuntas RS Kartika Husada Jatiasih Terkait Kematian Benedictus Alvaro
“Penyelesaian ini merupakan langkah yang diambil demi menciptakan kedamaian dan menghormati kepentingan semua pihak yang terlibat,” jelas Husni Farid Abdat.

“Kami percaya bahwa penyelesaian ini adalah langkah yang bijaksana dan merupakan upaya untuk menjaga hubungan yang harmonis antara pihak keluarga dan Rumah Sakit Kartika Husada. Tentunya, tidak ada pihak manapun yang menginginkan hal buruk terjadi pada pasien,” sambungnya.

RS Kartika Husada pun berusaha agar pihaknya bisa selalu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat.

Pihak keluarga Benedictus Alvaro Darren telah menyatakan terima kasih terkait evaluasi dari Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Organisasi Profesi Dokter/Rumah Sakit/Perawat atas tindakan dan kinerja dari Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan yang diketahui saat ini masih berproses.

Meski masih berproses, pihak keluarga memutuskan untuk memilih jalan kekeluargaan dengan pihak RS Kartika Husada Jatiasih setelah terjalinnya komunikasi yang diinginkan.

Dengan proses hukum yang masih berjalan di Polda Metro Jaya, pihak keluarga telah menyepakati penyelesaian secara kekeluargaan. (Ihsan Fahmi)

(Sumber : https://poskota.co.id/)

Husni Farid: Pelaku Usaha Perlu Mengamankan Bisnisnya dengan Baik dan Benar, Perhatikan Aspek Legal

Jika ingin mencari mitra, coba bekerja sama dengan perusahaan yang lebih kecil terlebih dahulu, dan buat sebuah prototipe bersama mereka. Perusahaan kecil cenderung lebih mudah untuk bekerja sama dalam berbagai hal, mulai dari pembuatan Non-Disclosure Agreement (NDA), kontrak, integrasi produk, hingga pemasaran, begitu tanggapan Husni.

Apabila berencana tidak akan bermitra dalam waktu lama dengan sebuah perusahaan, perhatikan isi dari perjanjian kerja sama. Jangan sampai ada kesepakatan yang nantinya bisa memaksa untuk bekerja terlalu lama dengan mereka.

Jangan terburu-buru menawarkan kerja sama dengan perusahaan besar. Sebab, tidak mudah membangun kerja sama dengan perusahaan besar karena membutuhkan sumber daya yang intensif. Jenis kerja sama ini mungkin bisa membantu startup tumbuh secara pesat. Sebaliknya, bagi perusahaan besar, bisa jadi tidak terdapat pengaruh signifikan dari kemitraan ini sehingga mereka tidak termotivasi.

Aspek Hukum Ketenagakerjaan pada Perusahaan Startup

Menurut Husni Farid Abdat, ada banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan, selain karena ingin menyelamatkan bisnis dan mengembalikan dana investor. Faktor-faktor tersebut, bisa terjadi karena perusahaan salah strategi. Sehingga terjadi penurunan kinerja, kompetensi sumber daya manusia yang tidak maksimal. Selain itu juga ada tren banyaknya startup yang baru berdiri sehingga menyebabkan startup-startup tidak mampu bersaing.

Terdapat aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam fenomena PHK yang terjadi pada perusahaan startup. Salah satu aspek yang diperhatikan yaitu ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus.

Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja seperti Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK terhadap pekerjanya. PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

Untuk menghindari PHK massal, dalam hal perusahaan masih baru dan uji coba terhadap produknya, maka boleh melakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, red) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. Sehingga ketika produknya gagal, maka PKWT tersebut dapat berakhir.

Startup boleh saja melakukan PHK terhadap karyawannya selama mematuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan.

Perusahaan startup yang merugi, karena kalah bersaing dengan perusahaan lain
atau karena gagal menjual produk baru kemudian melakukan PHK, dapat dibenarkan dengan alasan efisiensi karena merugi.

Namun kebijakan ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Tambahan informasi dari Husni Farid Abdat, Perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sesuai ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

PHK massal kerap dilakukan oleh startup agar startup bisa mengembalikan dana investor, perusahaan bisa tetap eksis dan mendapatkan laba.

Namun, pekerja yang terkena PHK tetap harus mendapatkan hak pesangon atau hak kompensasi dari perusahaan.

Jika ingin mencari mitra, coba bekerja sama dengan perusahaan yang lebih kecil terlebih dahulu, dan buat sebuah prototipe bersama mereka. Perusahaan kecil cenderung lebih mudah untuk bekerja sama dalam berbagai hal, mulai dari pembuatan Non-Disclosure Agreement (NDA), kontrak, integrasi produk, hingga pemasaran, begitu tanggapan Husni.

Apabila berencana tidak akan bermitra dalam waktu lama dengan sebuah perusahaan, perhatikan isi dari perjanjian kerja sama. Jangan sampai ada kesepakatan yang nantinya bisa memaksa untuk bekerja terlalu lama dengan mereka.

Jangan terburu-buru menawarkan kerja sama dengan perusahaan besar. Sebab, tidak mudah membangun kerja sama dengan perusahaan besar karena membutuhkan sumber daya yang intensif. Jenis kerja sama ini mungkin bisa membantu startup tumbuh secara pesat. Sebaliknya, bagi perusahaan besar, bisa jadi tidak terdapat pengaruh signifikan dari kemitraan ini sehingga mereka tidak termotivasi.

Aspek Hukum Ketenagakerjaan pada Perusahaan Startup

Menurut Husni Farid Abdat, ada banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan, selain karena ingin menyelamatkan bisnis dan mengembalikan dana investor. Faktor-faktor tersebut, bisa terjadi karena perusahaan salah strategi. Sehingga terjadi penurunan kinerja, kompetensi sumber daya manusia yang tidak maksimal. Selain itu juga ada tren banyaknya startup yang baru berdiri sehingga menyebabkan startup-startup tidak mampu bersaing.

Terdapat aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam fenomena PHK yang terjadi pada perusahaan startup. Salah satu aspek yang diperhatikan yaitu ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus.

Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja seperti Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK terhadap pekerjanya. PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

Untuk menghindari PHK massal, dalam hal perusahaan masih baru dan uji coba terhadap produknya, maka boleh melakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, red) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. Sehingga ketika produknya gagal, maka PKWT tersebut dapat berakhir.

Startup boleh saja melakukan PHK terhadap karyawannya selama mematuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan.

Perusahaan startup yang merugi, karena kalah bersaing dengan perusahaan lain
atau karena gagal menjual produk baru kemudian melakukan PHK, dapat dibenarkan dengan alasan efisiensi karena merugi.

Namun kebijakan ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Tambahan informasi dari Husni Farid Abdat, Perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sesuai ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

PHK massal kerap dilakukan oleh startup agar startup bisa mengembalikan dana investor, perusahaan bisa tetap eksis dan mendapatkan laba.

Namun, pekerja yang terkena PHK tetap harus mendapatkan hak pesangon atau hak kompensasi dari perusahaan.

(sumber : https://www.suarakarya.id/)